#MentalBreakdownSharing: The power of people's words




Sejak masuk kuliah, gue mulai tertarik dan sering banget nonton drama korea, khususnya yang genre action, crime, sama comedy.
Dari berbagai drama korea yang udah gue tonton, gue menemukan persamaan diantara beberapa drama tersebut, dimana tokoh utama cowoknya (terutama di genre action) itu selalu digambarkan sebagai laki-laki gagah, tidak terkalahkan, jago berantem, pinter, ganteng, dll dll.
Tapi gue menemukan persamaan lainnya diantara pemeran utama dari drakor-drakor yang udah gue tonton, dibalik "kekuatan" yang mereka tunjukkan, pasti selalu ada kelemahan atau ketakutan yang mereka punya. Cuma ya, ketutupan sama kelebihan yang mereka tunjukkin, terus ujung-ujungnya happy ending deh (mayoritas sih hehe).

Menurut gue, itu adalah salah satu sisi positif dari drama korea (lha jadi promosi?), dimana konsepnya itu sebenernya ga jauh-jauh beda sama kehidupan kita sehari-hari. 
Kita mungkin punya atau pernah ketemu dengan orang yang keliatannya super powerful atau hidupnya keliatan indah-indah aja, atau mungkin ga seindah itu, tapi kok keliatannya dia kuat banget ya. Terus bisa jadi di otak kita muncul pertanyaan "kok dia bisa ya kayak gitu", "kok gue gabisa ya kayak dia", kok ini, kok itu, dan berbagai kok kok lainnya.
Tapi poin pentingnya bukan disitu, disini gue mau ngebahas "ketika kita dapet kesempatan untuk seolah-olah menjadi si orang powerful tersebut".
Kira-kira, apakah orang lain bakal kepikiran pengen jadi kayak kita?
Atau apakah orang lain justru terganggu sama kehadiran kita? Sama perkataan kita?

Seperti yang udah gue bahas di awal, gue percaya kalo semua orang, pasti sepasti-pastinya punya kelemahan atau minimal ketakutan terhadap sesuatu. 
Tapi kadang, kita suka lupa sama kelemahan dan ketakutan yang kita punya, dan malah membesar-besarkan kelemahan orang lain yang (kebetulan) engga ada di kita, khususnya lewat perkataan kita sehari-hari. 
Dan sedihnya, ada beberapa orang yang bisa terpengaruh sama perkataan negatif orang lain bahkan sampe keipikiran dan ngengganggu aktivitas dia sehari-hari.
Ada juga beberapa orang yang merasa gagal hanya karena "dibilang gagal" sama orang lain. Ada juga orang-orang yang pada akhirnya melewatkan kesempatan berharga dalam hidupnya, karena udah ditakut-takutin duluan sama perkataan orang lain.
Sayangnya, masih banyak orang yang enggak sadar kalau apa yang dia katakan itu bisa jadi adalah "titik kelemahan" atau "ketakutan" bagi orang yang dikomentarin.
Contohnya dari basa-basi super basi yang biasa kita dengar kayak: 
"Udah semester berapa sekarang? IPKnya berapa?"
"Kapan lulus? Kok lama banget"?
"Kapan punya pacar? Sendiri mulu"
"Kapan nikah?"
"Kenapa nikah muda?"
"Kok ambil jurusan itu sih? Mau kerja apa nanti?"
"Loh kok masuk IPS?" 
"Loh kok, lah kok, kenapa begitu? kenapa begini? kapan itu? kapan ini?"

Sampai saat ini, gue masih belum menemukan teori mana yang menyebutkan kalau kemampuan akademik, masalah asmara, keluarga, pendidikan, dan hal-hal cenderung sangat pribadi kayak gitu harus banget diketahui sama semua orang. 
Malah, gue lebih sering menemukan orang-orang di sekitar gue yang dapet pertanyaan maupun komentar "semi-judging" kayak diatas, jadi kurang percaya diri karena dia jomblo, kuatir karena dia pikir ngambil jurusan yang salah, atau panik karena belom nikah-nikah."
Gue sendiri pun pernah menjadi "korban" bahkan pelaku dari perkataan-perkataan negatif yang dilontarkan ke pihak lain. Semakin banyak perkataan negatif yang gue terima, semakin gue sadar dan paham "gimana rasanya jadi si korban". 
Dan itu membuat gue perlahan-lahan mengurangi "kadar" perkataan negatif yang bisa menyakiti hati orang lain. Gue gak mau mengambil hati omongan orang lain yang ga kenal-kenal banget sama gue. Gue juga gamau cape-cape bersedih hati, bermuram durja, atau jadi mager beraktivitas cuma karena mikirin hujatan orang lain.

Come on guys, waktu dan diri kita terlalu berharga dibandingkan itu semua.
Gue berharap kita ga harus jadi korban dulu untuk bisa ngerem kata-kata pedas negatif yang keluar dari mulut kita. Kebiasaan "auto hujat"  atau "auto komen" itu emang sulit banget dihilangin, tapi bisa dikurangin sedikit demi sedikit. Inget, kita semua sama-sama punya kelemahan dan kekurangan.
Kalaupun harus banget komentar, coba pilih bahasa yang emang "pantas" dan solutif. Maksud solutif gue disini adalah ketika kita ngomong, jangan cuma ngasih kritikan aja, tapi kasih saran dan solusi yang bisa dilakukan.  Jadi ya setidaknya omongan yang keluar dari mulut kita "ada isinya", ga cuma tong kosong yang nyaring bunyinya
Yuk mulai saat ini, sama-sama belajar untuk jadi orang yang bisa memberikan pengaruh positif dengan kata-kata kita!

#notetomyself




Comments

Popular posts from this blog

First Timer in: #Jogja

We Meet Each Other By A Reason

Apakah negatif = buruk (?)